kebaradaan Uang 2T diragukan, kini status berubah menjadi tersangka.
WARTA VIRAL
Dengan langkah pelan tapi pasti, Hardi Darmawan beranjak menuju mimbar konferensi pers di Markas Kepolisian Daerah Sumatera Selatan, Jalan Jenderal Sudirman, Kota Palembang, Senin, 26 Juli 2021. Hardi adalah mantan Direktur Utama Rumah Sakit RK Charitas, Palembang. Di tangannya terdapat sepucuk surat dari keluarga pasien yang mendapuk Hardi sebagai dokter pribadi mereka.
Di hadapan Hardi, Gubernur Sumsel Herman Deru, Danrem Garuda Dempo Brigjen TNI Jauhari Agus Suraji, Kadinkes Provinsi Sumsel Lesty Nurainy, Kapolda Sumsel Eko Indra Heri, serta sejumlah pejabat lain dan tokoh agama Sumsel duduk dengan tenang. Mereka bersiap menyimak paparan Hardi.
Tak banyak yang betul-betul mengetahui apa yang hendak Hardi sampaikan. Semua masih bertanya-tanya, termasuk Herman Deru. Saat diwawancarai wartawan pekan lalu, Herman mengaku hanya tahu bahwa acara itu adalah seremoni penyerahan hibah dari seorang pengusaha kaya kepada Kapolda Sumsel. Tapi berapa nilainya, Herman tidak tahu sama sekali.
Suasana yang semula tenang mendadak riuh ketika Hardi menyebut nilai sumbangan yang diberikan keluarga pasiennya itu sebesar Rp 2 triliun! Sebagian tamu undangan yang hadir lekas-lekas mengambil ponsel pintar mereka untuk memotret. Hardi bilang, hibah ini diberikan oleh keluarga pengusaha kaya asal Langsa, Aceh Timur, yang telah lama bermukim di Palembang. Namanya Akidi Tio.
Tak pelak, seluruh tamu undangan pun berdecak heran mendengar nilai nominal sumbangan yang ditujukan untuk membantu penanganan wabah COVID-19 di Sumsel itu. Hardi tak terkecuali. “Saya kaget ketika keluarga menyampaikan niat untuk memberikan bantuan kepada warga Sumsel senilai Rp 2 triliun untuk membantu penanganan COVID-19,” ujar Hardi.
Sumbangan yang fantastis itu mendapat apresiasi dari pelbagai pihak, termasuk para pesohor negeri. Namun tidak sedikit pula orang yang kemudian penasaran siapa sebenarnya sosok bernama Akidi itu. Di depan pintu masuk Mapolda Sumsel, Hardi sedikit menjelaskan siapa Akidi. Hardi berujar, dia mengenal Akidi sejak 1973. Akidi merupakan pengusaha bangunan, teraso, dan perkebunan. Dia memiliki tujuh anak, satu telah meninggal dunia. Akidi sendiri meninggal pada 2009 dan dimakamkan di Palembang.
Hardi mengaku hubungannya dengan keluarga Akidi sebatas pasien dan dokter. Tidak begitu dekat. Tetapi sosok Akidi yang dia kenal memang sangat dermawan. Akidi dan keluarga, kata Hardi, sudah sering membantu masyarakat di lingkungan sekitar tempat tinggal mereka tapi tak ingin dipublikasikan. Sumbangan kali ini sebetulnya juga tidak ingin diketahui orang banyak. Tapi, saking besarnya nilai bantuan, Hardi mengusulkan supaya dipublikasikan.
“Awalnya tidak mau di-publish ya. Saya bilang ini uang banyak, makanya panggillah tokoh agama, tokoh adat, biar transparan,” tutur Hardi. Uang Rp 2 triliun itu, sambung Hardi, merupakan hasil patungan enam anak Akidi yang kini menetap di Jakarta dan Palembang. Sumbangan diberikan kepada Polda Sumsel karena kedekatan Eko Indra Heri dengan keluarga Akid
Herman Deru menambahkan, Eko mengenal Akidi melalui Johan alias Ahok. Johan merupakan anak sulung Akidi yang memiliki usaha pabrik limun di Langsa. Saat itu, Eko menjabat Kasat Reskrim Polres Aceh Timur. Diketahui belakangan, Ahok juga telah meninggal dunia pada 2016. “Di situlah perkenalan awal Bapak Eko Indra Heri sebagai perwira pertama yang bertugas di sana (Aceh Timur),” ungkapny
Keluarga Akidi membenarkan soal kedekatan Ahok dengan Eko. Tapi mereka membantah uang Rp 2 triliun itu hasil patungan anak-anak Akidi. Menantu Akidi, Rudi Sutadi, bilang uang itu adalah hasil tabungan mertuanya sejak bertahun-tahun silam. Rudi adalah suami dari Heryanti alias Ahoeng, anak Akidi. Heryanti satu-satunya anak Akidi yang kini menetap di Palembang. Rumahnya berada di kawasan Ilir Timur I, Palembang. “Uang itu bukan kami (anak-anak Akidi) yang kumpulkan, tapi wasiat Pak Akidi Tio untuk disalurkan di saat masa sulit,” beber Rudi seperti dinukil dari CNNIndonesia.com, Rabu, 28 Jul
Kesimpangsiuran informasi tentang Akidi makin membuat publik penasaran siapa sosok dermawan yang nilai sumbangannya hanya bisa dikalahkan oleh pendiri Microsoft, Bill Gates, itu. Sayangnya, sejumlah pengusaha dari Kamar Dagang Indonesia, Gabungan Pelaksana Konstruksi Nasional Indonesia, serta Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia yang diwawancarai detikX mengaku tak mengenal Akidi. Jejak digital Akidi juga nihil di interne
detikX mencoba menghubungi Eko Indra, Herman Deru, dan Hardi untuk mencari tahu lebih detail sosok Akidi. Namun semua seakan menghilang dan enggan diwawancarai. Sejumlah media lokal di Palembang menyebut sejak Kamis, 29 Juli lalu rumah Heryanti telah dijaga polisi. Awak media dilarang mendekat ke rumah anak bungsu Akidi itu. Polisi berdalih, rumah Heryanti dijaga untuk mencegah perampokan setelah berita sumbangan Rp 2 triliun itu viral.
Spekulasi terkait siapa Akidi kemudian bermunculan. Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Bambang Soesatyo menyebut Akidi merupakan pengusaha kaya yang memiliki pabrik kecap di Palembang. Akidi, kata Bamsoet, juga memiliki usaha batu dolomit dan pupuk. “Dan dia yang punya Cipta Futura Sawi di Muara Enim,” tulis Bamsoet melalui akun Instagram-nya, Kamis, 29 Juli lalu.
Berdasarkan dokumen akta pembentukan perusahaan PT Cipta Futura yang didapatkan, perusahaan sawit ini didirikan pada 13 Maret 2008, setahun sebelum Akidi Tio meninggal. Usaha perusahaan itu mencakup bidang perdagangan, pertambangan, jasa angkut, dan pertanian. Modal awal pendirian Cipta Futura Rp 24 miliar. Tak tercantum nama Akidi di jajaran direksi maupun komisarisnya.
Dokumen itu menyebut PT Cipta Futura didirikan atas inisiasi empat orang, yakni Riswan Jie (komisaris), Nusa Widjaja Mak (direktur), Jie Siok Lin (komisaris utama), dan Paiman Mak (direktur utama). Mereka lahir di Medan, bukan di Aceh Timur sebagaimana Akidi Tio dilahirkan. Dari empat nama itu, yang paling muda lahir pada 1968, jauh sebelum Akidi pindah ke Palembang pada 1972. Tidak ada pula satu pun dari nama-nama itu yang memiliki marga “Tio” atau “Tiuchu” sebagaimana nama belakang Akidi.
Upaya untuk menghubungi Cipta Futura melalui nomor telepon yang tertera di laman resmi perusahaan tak membuahkan hasil. Nomor itu sudah tidak aktif. Surat permohonan wawancara melalui surel juga tidak mendapatkan jawaban. Melalui Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Sumatera Selatan, Alex Sugiarta, diperoleh konfirmasi bahwa Cipta Futura memang bukan milik Akidi. Belakangan, Bamsoet meralat unggahannya di Instagram dengan tidak lagi mencantumkan nama Cipta Futura sebagai milik Akidi.
Selain dari Bamsoet, spekulasi terkait siapa Akidi juga muncul dari mantan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Marzuki Alie. Dalam cuitan di Twitter, Marzuki menyebut Akidi masih memiliki hubungan kekerabatan dengan Thong Djoe. Thong Djoe merupakan pengusaha kaya asal Palembang yang menetap di Singapura. Seakan terpengaruh oleh cuitan Marzuki, Bamsoet juga menyebut bahwa Akidi kecil memang hidup bersama keluarga Thong Djue.
Namun, lagi-lagi, pernyataan itu hanya spekulasi dan belum dapat dipastikan kebenarannya. Sebab, Thong Djoe meninggal dunia pada Februari 2021 pada usia 94 tahun. Sementara itu, Akidi, sebagaimana dituliskan Dahlan Iskan dalam blog pribadinya, meninggal dunia pada usia 89 tahun di 2009. Itu berarti, Akidi lahir sekitar 1920-an, sedangkan Thong Djoe lahir pada 1927. Dengan hitung-hitungan matematika sederhana, dari segi usia, Akidi lebih tua tujuh tahun dibandingkan Thong Djoe.
lantas melanjutkan pencarian jejak Akidi ke Langsa, Aceh Timur, yang disebut sebagai tempat lahir Akidi. Sebelumnya, mendapatkan informasi dari Ketua Yayasan Hakka Aceh Kho Khie Son alias Aky, yang menyebut ada tokoh masyarakat di Langsa bernama Samsoe yang mengenal cucu Akidi. Samsoe adalah Plt Ketua Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Kota Langsa.
Pada Sabtu, 30 Juli lalu, menemui Samsoe di Toko Bintang Kejora miliknya di Jalan Teuku Umar, Kota Langsa. Dengan membuka secarik kertas, Samsoe kemudian menjelaskan sosok Akidi. Samsoe mengatakan mengenal cucu Akidi yang bernama Sumardi alias Acien. Acien merupakan anak Ahok, putra bungsu Akidi, yang memiliki pabrik limun di Langsa. Samsoe dan Acien merupakan teman masa sekolah di SD 11 Kota Langsa. Tetapi, setelah menamatkan pendidikan sekolah dasar, Acien dan keluarganya merantau ke Jakarta dan Palembang.
Sepengetahuan Samsoe, Akidi memiliki beberapa anak, yakni Ahok, Pau Luk, Aguan, Pau Cen, dan Ahoeng. Semuanya, kata Samsoe, lahir di Langsa, Aceh Timur. “Namun saat ini tidak ada lagi satu orang pun anak ataupun cucu almarhum Akidi Tio yang menetap di Kota Langsa. Mereka sudah pindah ke Jakarta dan Palembang,” sebut Samsoe.
Sumber di Langsa menyebut, pada Senin, 26 Juli, malam, Samsoe didatangi petugas kepolisian dari Polres Aceh Timur. Secarik kertas yang Samsoe buka di depan kami itu adalah hasil dari pertemuannya dengan petugas tersebut.
Selain menemui Samsoe, juga berjumpa dengan seorang perempuan bercadar yang mengaku teman satu sekolah Ahok. Keduanya sempat bersekolah di SMP Negeri 1 Langsa. Setiap berangkat dan pulang sekolah, keduanya kerap jalan bersama. Namun, saat untuk meminta waktu untuk berbincang, perempuan itu menolak.
lantas melanjutkan penelusuran ke sebuah warung makan di Jalan Teuku Umar, Langsa, yang disebut sebagai tempat berkumpulnya warga keturunan Tionghoa di Langsa. Saat kami berkunjung ke warung itu, tidak ada satu pun warga Tionghoa yang terlihat. Penjaga warung makan tersebut menyebut para pelanggannya itu sedang tidak berada di Kota Langsa. Mereka sedang ke luar kota mencari stok dan bahan-bahan untuk urusan bisnis masing-masing.
Kami kemudian mengunjungi Jalan Gang Nasional, Gampong Blang Seunibong, Langsa, yang disebut sebagai lokasi pabrik limun milik Ahok. Di situ, kami menemui salah seorang warga bernama Marlina, yang tinggal persis di lokasi pabrik limun tersebut. Marlina mengaku sebagai orang yang membeli tanah pabrik itu dari Ahok.
“Ini memang dulu pabrik limun kami beli karena orangnya juga tidak ada lagi di sini karena orang itu pindah ke Medan,” kata Marlina. Pabrik itu, kata seorang warga lain yang tidak mau disebutkan namanya, hanya sebuah pabrik limun rumahan. Kecil.
Selain Samsoe, Marlina, dan perempuan bercadar itu, hampir tidak ada lagi warga Langsa yang mengenal Akidi. Apalagi, soal dana Rp 2 triliun yang diklaim milik mendiang Akidi Tio. Dahlan Iskan dalam blog pribadinya sempat menyebut bahwa dana itu masih berada di Bank Singapura. Informasi itu didapat Dahlan dari hasil komunikasinya dengan orang dekat Heryanti.
Orang dekat Heryanti yang disebut Dahlan sebagai “Si Cantik” itu mengatakan bahwa Heryanti sampai meminjam uang suaminya Rp 3 miliar demi bisa mencairkan dana tersebut. Si Cantik bilang, dana itu akan cair pada Senin, 2 Agustus 2021 sore. Namun sampai tiba pada waktu yang dijanjikan itu, dana tersebut tidak kunjung cair.
Kini, teka-teki soal dana Rp 2 triliun malah semakin tidak jelas. Senin, 2 Agustus siang, Dirintel Polda Sumsel Kombes Ratno Kuncoro mengatakan, Heryanti anak Akidi telah ditetapkan sebagai tersangka atas penyebaran berita bohong sumbangan Rp 2 triliun dan dugaan penghinaan terhadap negara. Dari hasil penyelidikan, kata Ratno, polisi telah menemukan cukup bukti untuk penetapan tersangka tersebut.
“Saat ini tersangka berinisial H sudah kami amankan dari lokasi Bank Mandiri ke Mapolda,” tegas Ratno, Senin, 2 Agustus 2021.
Tetapi sorenya, Kabid Humas Polda Sumsel Kombes Supriadi menyampaikan pernyataan berbeda. Menurut Supriadi, Heryanti dipanggil ke Polda Sumsel hanya untuk dimintai keterangan, bukan penetapan tersangka. Heryanti datang untuk menjelaskan soal bilyet giro yang kabarnya bakal digunakan untuk pencairan dana Rp 2 triliun.
“Ini ‘kan direncanakan akan diserahkan melalui bilyet giro. Sehingga pada waktunya, bilyet giro ini belum bisa dicairkan. Kenapa? Karena ada teknis yang harus diselesaikan,” pungkas Supriadi.
SUMBER: detik.com
Posting Komentar untuk "kebaradaan Uang 2T diragukan, kini status berubah menjadi tersangka."